Bicara tentang tuntul, saya jadi ingat kenangan saat awal saya di kampung halaman tahun 2006. Waktu itu teman-teman Remaja Masjid bertekad menerangi lapangan Motoboi Kecil yang merupakan lapangan terbesar kedua di Bolaang Mongondow setelah Gelora Ambang. Pusing juga.
Minyak agak langkah, krismon masih terus membayang, kebanyakan—terutama saya—belum punya persiapan untuk menghadapi lebaran. Padahal dibutuhkan minimal 3 drum minyak tanah untuk menerangi lapangan itu selama 3 malam. Belum lagi diperlukan tak kurang 10 ribu botol kecil seperti botol karatingdeng, M150, hemaviton. Manalagi harus membeli sumbuh, membuat loga-loga (tempat sumbuh) dan lainnya. Semua butuh fulus yang lumayan besar, jutaan rupiah. Dari mana?
Namun niat sudah dipancangkan, pantang untuk undur selangkah pun. Saat
rapat dengan Badan Ta’mir Masjid (BTM) Darusalam, masalah minyak
teratasi. Drs. Jemy Lantong yang waktu itu masi anggota DPRD Bolmong
menyumbang 1 drum, 1 drum sumbangan BTM dan 1 drum dari Lurah Motoboi
Kecil serta pegawai Syar’i. Sungguh rapat yang berproses dengan baik dan
hasil yang indah.
Masyarakat pun menyumbang botol-botol kecil yang mencukupi setelah
datang bantuan dari restoran Lembah Bening. Kami, walau matahari luar
biasa terik yang mengeringkan kerongkongan namun harus mencari patok dan
bambu di Molayak. Pembuatan loga-loga ternyata harganya dipermurah
sampai separuh harga, ada juga yang membantu membeli labrang, tali dan
lainnya.
Luar biasa masa itu. Masing-masing menyumbang apa yang dia punya atau yang dia bisa. Gotong royong yang mewujud.
Malam pertama, setelah trawih, muncul lah kreasi itu. Lapangan Motoboi Kecil berhias lampu minyak tanah. Ada
tulisan Allah, Muhammad, BKPRMI Motoboi Kecil dan ditengahnya
seharusnya masjid tapi agak lain—semua dari lampu minyak tanah. Malam
kedua bentuknya berubah, juga di malam ketiga. Yang ingin mengabadikan
kreatifitas itu dipaksa harus datang terus di tiga malam terakhir
Ramadhan.
Luar biasa.
Saya
tak tahu apakah itu indah atau tidak. Selain aku tak begitu bisa
menilai estetika yang mewujud, aku juga tak bisa memuji diri kami
sendiri. Yang jelas kami, seluruh warga Motoboi Kecil, berusaha
mewujudkan sesuatu yang saat itu nyaris nihil. Bagiku sendiri, nilai
dari semua yang kami lakukan saat itu adalah kemampuan mendobrak
bersama. Kami bisa bergandengan tangan untuk mewujudkan sesuatu.
Sekarang sudah tahun 2010, sudah empat tahun peristiwa itu berlalu.
Belum ada lagi peristiwa serupa yang dilakukan padahal mungkin
seharusnya bisa dikerjakan. Termasuk disaat ini.
Apa yang terjadi dikampungku sesungguhnya tak hanya dapat terjadi
disitu. Yang terjadi dikampungku hanya gambaran kecil yang bisa kita
terapkan di wilayah yang lebih luas. Tuntul juga hanya satu peristiwa
yang bisa juga diterapkan pada peristiwa atau keadaan lainnya.
Inti dari semuanya adalah, kita bisa mengatasi persoalan apapun,
dimanapun, kapanpun, jika kita saling bergandengan tangan untuk
mengatasi persoalan itu. Persoalan akan teratasi ketika kita mau
menyumbang apa yang kita punya atau yang kita mampu untuk mengatasi
persoalan itu. Tapi jika kita saling berlepas tangan, menganggap suatu
persoalan hanya persoalan orang lain atau persoalan yang ditimbulkan
oleh orang lain, maka aku yakin sekecil apa pun persoalan itu tak akan
teratasi. Bahkan bisa jadi masalahnya akan bertambah.
Kembali ke tuntul, dia memang bukanlah syariat, dia hanya budaya, hanya
sebuah kebiasaan yang mengkristal karena dilakukan terus menerus. Tapi
dia adalah sejarah yang menjadi bagian dari diri kita. Sangat
disayangkan jika kita biarkan sehingga musnah.
Saat ini memang sulit. Minyak tanah langkah dan mahal—dan semua memang
serba mahal sekarang. Tapi kalau kita bisa bergandengan tangan, kurasa
tak ada persoalan. Toh kata mahal hanya bagi yang tak beruang seperti
saya, sementara bagi yang punya semua sesungguhnya murah. Dan yang
bilang mahal masih punya tenaga dan pikiran yang mungkin bisa mengurangi
beban. (Anuar Syukur)
(Sumber : http://rumahdinangoi.blogspot.co.id/2010/08/tuntul-di-masa-sulit.html)
0 komentar:
Posting Komentar